Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2025

JIKA AKHIRNYA KITA TIDAK SERASI (?)

Gambar
Pernahkah kamu merasa, bahwa mencintai seseorang tidak selalu berarti memilikinya? Aku merasa itu setiap kali menatap matamu—dan tahu, bahwa aku bukan bagian dari apa pun yang sedang kamu bayangkan. Kita bertemu di waktu yang salah, atau mungkin semesta memang tidak pernah berniat mempertemukan kita untuk benar-benar bersama. Tapi tetap saja, aku jatuh hati, berkali-kali, di tempat yang sama: kamu. Untuk sekian lama aku mencoba menjadi tenang. Menjauh, mendekat, lalu menjauh lagi. Seperti arus pasang yang tak tahu kapan reda. Aku memikirkanmu bertahun-tahun lamanya, padahal mungkin hanya aku yang mengingat semuanya sebegitu dalamnya. Mungkin kamu tak pernah tahu—atau tak pernah ingin tahu. Pernah aku membayangkan, bagaimana jika cinta itu bisa diprogram? Mungkin aku akan memilih yang lebih sederhana, yang membalas, yang bisa kugenggam. Tapi nyatanya, cinta itu buta arah, dan hatiku memilihmu tanpa izin, tanpa aba-aba, tanpa peringatan dari Tuhan. Kalau saja bisa kutolak, su...

KITA BELUM SEMPAT SALING

Gambar
Setelah masa yang tidak bisa kusebut lagi cinta—karena bentuknya terlalu kacau untuk disebut begitu—aku menjadi lebih banyak diam. Orang-orang mengira aku pendiam, tapi sebetulnya aku hanya kehabisan cara untuk menjelaskan: bahwa ada reruntuhan di dalam kepala yang belum selesai dibereskan. Pernah aku dicintai, lalu dibohongi. Pernah pula dipercaya, lalu dijatuhkan. Dan sejak saat itu, aku tidak lagi pandai menilai mana yang layak dijaga, dan mana yang hanya singgah untuk merusak. Aku tenggelam dalam banyak hari tanpa arah, seperti genangan yang tak tahu harus mengalir ke mana. Lalu kamu hadir, tidak dengan suara, tidak dengan sapaan, hanya dengan keberadaan yang entah mengapa terasa menenangkan. Aku sempat berpikir untuk melangkah ke arahmu—bukan untuk menyuntingmu dari dunia, tapi sekadar memastikan bahwa kamu nyata. Aku ingin memilihmu. Bukan karena aku sedang sepi, tapi karena aku pernah percaya bahwa seseorang bisa membuat luka tak terasa sakit jika ia benar-benar tulu...

SEPERTI RAWA

Gambar
Aku pernah datang ke sebuah rawa. Tak sendiri, tentu saja. Ada kamu di sana, duduk bersisian di bibir sampan kayu yang sudah barut dan renta. Airnya tenang, terlalu tenang, hingga bisa melihat langit memantul dengan malu-malu. Beberapa eceng gondok terapung di dekat haluan, diam seperti tahu bahwa kami tak butuh keramaian. Di kejauhan, gunung berdiri seperti penjaga waktu, dan kereta tua melintas lambat—terdengar samar, seperti dengung cerita lama yang belum selesai dituturkan. Waktu itu, orang-orang sedang memancing. Mereka duduk bersila, sebagian membawa anak-anak, sebagian sendiri, dan sebagian lain seperti tak benar-benar menunggu apa-apa. Aku hanya membawa kamu, tapi lupa membawa kail. Andai aku ingat, kita mungkin bisa menyisipkan kisah tentang ikan kecil yang menggigit umpan, lalu kita tertawa karena senar kusut atau karena umpan justru dimakan burung air. Tapi hari itu tak memberi banyak celah untuk sempurna, dan justru karena itu, aku mengingatnya. Sampan bergoyang...

ANDAI BISA MEMILIH

Gambar
Pernah aku mencoba melupakanmu, sungguh. Tapi entah mengapa, bayangmu selalu pulang tanpa aku minta. Setiap aku berpaling, hatiku justru menemukanmu di ujung yang lain. Seakan kamu adalah rumah yang ditakdirkan tak bisa kutinggalkan. Meskipun aku tahu, rumah itu tak lagi membuka pintu untukku. Untuk sekian kalinya aku jatuh hati padamu. Tanpa aba-aba, tanpa sebab yang bisa kupahami. Aku mencintaimu dengan bentuk yang bahkan tak bisa dijelaskan oleh kata. Kadang aku benci karena cinta ini tak bisa kuhentikan. Tapi aku tetap di sini, dengan perasaan yang tak pernah surut. Pikiran tentangmu sering kali menyusup saat aku paling tidak ingin mengingat. Aku pernah menulis namamu diam-diam di kepala, berharap Tuhan menggantinya—tapi tidak pernah bisa. Bertahun-tahun berlalu, rasaku tidak pergi, justru mengakar. Bahkan ketika kamu tak lagi hadir secara nyata, aku tetap menunggumu dalam doa. Karena ternyata, kamu tak pernah benar-benar hilang dari hatiku. Untuk cinta yang tidak kupil...

SEPASANG KNITWEAR

Gambar
Aku masih ingat, saat pertama kali kita membeli knitwear ungu muda itu, di toko kecil ujung gang. Bukan karena sedang tren, tapi karena katanya, warna itu membawa ketenangan bagi yang sedang patah. Berdua, kita tertawa kecil membaca filosofi warna dari brosur lusuh yang diselipkan penjaga toko. Waktu itu kita tidak percaya mitos, apalagi yang bilang baju kembar bisa membawa pisah. Tapi ternyata, ada yang tidak terlihat dari rajutan benang dan simpul perasaan kita. Siapa percaya pada pakaian sama, hubungannya tidak akan bertahan lama? Bukan cuma baju, kita juga suka kopi yang sama: pahit di awal, manisnya muncul perlahan. Kita sering duduk lama di kafe langganan, bertukar cerita dan sesekali diam dalam nyamannya sunyi. Saling ejek soal siapa yang paling lambat membalas pesan, lalu tertawa seperti anak kecil yang baru jatuh cinta. Tapi bahkan tawa bisa berubah jadi gema yang kosong, saat hati mulai tak bersuara. Kini, bangku kafe itu masih ada, tapi tanpa kita. Cinta kita ane...