JIKA AKHIRNYA KITA TIDAK SERASI (?)
Pernahkah kamu merasa, bahwa mencintai seseorang tidak selalu berarti memilikinya? Aku merasa itu setiap kali menatap matamu—dan tahu, bahwa aku bukan bagian dari apa pun yang sedang kamu bayangkan. Kita bertemu di waktu yang salah, atau mungkin semesta memang tidak pernah berniat mempertemukan kita untuk benar-benar bersama. Tapi tetap saja, aku jatuh hati, berkali-kali, di tempat yang sama: kamu.
Untuk sekian lama aku mencoba menjadi tenang. Menjauh, mendekat, lalu menjauh lagi. Seperti arus pasang yang tak tahu kapan reda. Aku memikirkanmu bertahun-tahun lamanya, padahal mungkin hanya aku yang mengingat semuanya sebegitu dalamnya. Mungkin kamu tak pernah tahu—atau tak pernah ingin tahu.
Pernah aku membayangkan, bagaimana jika cinta itu bisa diprogram? Mungkin aku akan memilih yang lebih sederhana, yang membalas, yang bisa kugenggam. Tapi nyatanya, cinta itu buta arah, dan hatiku memilihmu tanpa izin, tanpa aba-aba, tanpa peringatan dari Tuhan. Kalau saja bisa kutolak, sudah sejak dulu aku berhenti. Tapi bagaimana caranya berhenti dari sesuatu yang bahkan tak pernah mulai?
Tuhan memang lucu. Kadang Dia memberi rasa, tapi tidak memberi jalan. Kadang Dia menyuruh bertahan, tapi tidak memberi alasan. Dan aku mencintaimu dalam bentuk paling sunyi, paling dalam, paling rumit. Bukan karena kamu sempurna, tapi karena hati ini tidak pernah berhasil menolak keberadaanmu.
Kalau akhirnya kita tidak serasi, apakah rasaku sia-sia? Tidak. Karena meski tak berbalas, mencintaimu telah menjadikanku manusia yang utuh. Yang tahu caranya menunggu, tahu caranya terluka, dan tahu caranya menerima. Dan jika semua ini hanya untuk aku belajar ikhlas, maka aku akan mengulang jatuh yang sama.
Dengan siapa.
Berkali-kali.
Tanpa jeda.
Komentar
Posting Komentar