Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2025

KESENJANGAN ASMARA

Gambar
Aku berjalan dalam lorong-lorong sunyi bernama harap, tempat di mana cahaya cintamu tidak pernah benar-benar sampai. Dalam setiap tapak langkah, ada sejenis longing yang tidak bisa kugambarkan—ia seperti aroma hujan yang tertinggal di tanah kering: samar, namun menggoda. Aku telah menjelma menjadi perawi luka, mengumpulkan detik-detik di mana namamu aku terjemahkan menjadi pengharapan. Tapi cinta, bagiku, seperti bayangan di senja yang memanjang tapi tak pernah bisa aku peluk. Kamu adalah oasis yang aku temui dalam padang ilusi. Aku mencintaimu dengan intensitas yang tidak pernah kamu minta—sebuah dedikasi sepihak yang lahir dari kontemplasi, bukan kesepakatan. Dalam benakku, kamu telah menjelma konstanta, hadir dalam tiap jeda yang aku tulis diam-diam. Ada semacam devotion yang terlalu purba, yang membuat diriku tak lelah walau terus dicueki. Cinta ini tak mengenal simetri; ia berdenyut dalam ketimpangan, namun tetap tumbuh dalam sunyi. Meski tak berbalas, hatiku tak bisa ...

MENITIP SURAT II

Untuk gadis ujung pesisir, Aku harap kamu dalam keadaan baik dan bahagia dengan kehidupan yang sedang kamu jalani sekarang. Maaf kalau tiba-tiba aku kirim pesan ini, tapi ada sesuatu yang sudah lama aku simpan dalam hati, dan rasanya sekarang waktunya aku ungkapkan—bukan untuk mengganggu, tapi untuk menyelesaikan. Jujur, aku masih ingat kali pertama melihatmu waktu masa-masa awal persimpangan. Meski hanya sepintas, entah kenapa ada rasa yang berbeda. Tapi saat itu aku memilih menjaga jarak, karena aku masih terikat janji dengan seseorang. Seiring waktu, semuanya berubah. Janji itu tak lagi dijaga, dan aku pun kehilangan arah. Beberapa waktu kemudian aku coba menghubungimu lagi, tapi aku sadar kamu sudah punya jalanmu sendiri. Saat itu, jujur, aku kecewa—bukan karena kamu salah, tapi karena aku terlambat. Mungkin aku terlalu banyak berharap diam-diam, dan itu salahku sendiri. Setelah semua yang terjadi, aku sadar bahwa kamu pernah jadi bagian penting dalam perjalanan hidupku. Aku pernah...

MENITIP SURAT I

--- Waktu terlambat datang, aku terlalu cepat dalam memilih kata "ingin" untuk sekedar memilikimu. Sekuat apapun tekad terbentuk, jiwaku tidak cukup stabil. Jujur, sudah lama aku ingin menulis ini, tapi kata-kata selalu saja terasa kurang, bahkan saat hati ini penuh dengan perasaan. Aku ingin jujur, walau kadang terlalu berat untuk membuat rasa terungkap semua. Aku tahu mungkin ini terlambat datang, atau mungkin kamu sudah tidak merasa apa-apa lagi. Tapi, sejujurnya, sejak kali pertama aku mengenalmu, ada sesuatu yang berbeda. Ada perasaan yang tumbuh yang sulit aku jelaskan. Kamu hadir seperti angin sejuk di saat aku membutuhkan itu, dan sejak itu kamu selalu ada dan tumbuh di pikiranku. Waktu berjalan, dan banyak hal yang berubah, termasuk aku. Tapi satu hal yang tetap—perasaan ini. Aku tidak pernah benar-benar bisa melepaskan bayanganmu, meskipun aku tahu kita tidak selalu bisa bersama. Aku menyesal banyak hal, menyesal kenapa dulu aku tidak lebih berani. Menyesal kenapa a...

KENAPA TIDAK MEMILIH MENJADI SEPERTI KARTINI?

Aku pernah jatuh cinta pada seorang perempuan yang bercita-cita jadi perawat. Bukan perawat biasa. Dia ingin merawat dan mengajar di tempat yang tidak ada papan tulis, tapi banyak luka—dan muridnya adalah anak-anak perempuan yang lebih tahu cara menjaga tubuh daripada menjaga mimpi. Namanya tidak perlu aku sebut. Biarlah dia abadi dalam ingatan seperti Kartini dalam surat-suratnya. Aku mengenalnya di antara tumpukan buku dan larik-larik hujan sore yang enggan reda. Dia bukan perempuan biasa. Tangannya menggenggam pena seerat dia menggenggam mimpi, tapi matanya—sungguh, matanya—selalu memandang dunia seakan sedang mengukur luka yang diwariskan zaman.  Katanya, cinta itu seperti belajar membaca: mula-mula mengeja, lalu mengerti, kemudian patah karena tahu tidak semua bisa dipahami.  “Aku ingin sekolah,” katanya padaku sambil menatap ke luar jendela, “tapi mereka bilang perempuan cukup tahu dapur dan ranjang. Cinta dan ibu rumah tangga. Tidak perlu gelar, asal tahu malu.” Berbica...