KESENJANGAN ASMARA
Aku berjalan dalam lorong-lorong sunyi bernama harap, tempat di mana cahaya cintamu tidak pernah benar-benar sampai. Dalam setiap tapak langkah, ada sejenis longing yang tidak bisa kugambarkan—ia seperti aroma hujan yang tertinggal di tanah kering: samar, namun menggoda. Aku telah menjelma menjadi perawi luka, mengumpulkan detik-detik di mana namamu aku terjemahkan menjadi pengharapan. Tapi cinta, bagiku, seperti bayangan di senja yang memanjang tapi tak pernah bisa aku peluk. Kamu adalah oasis yang aku temui dalam padang ilusi.
Aku mencintaimu dengan intensitas yang tidak pernah kamu minta—sebuah dedikasi sepihak yang lahir dari kontemplasi, bukan kesepakatan. Dalam benakku, kamu telah menjelma konstanta, hadir dalam tiap jeda yang aku tulis diam-diam. Ada semacam devotion yang terlalu purba, yang membuat diriku tak lelah walau terus dicueki. Cinta ini tak mengenal simetri; ia berdenyut dalam ketimpangan, namun tetap tumbuh dalam sunyi. Meski tak berbalas, hatiku tak bisa memilih untuk menyerah.
Malam-malamku adalah simfoni resah; tiap bantal menjadi tempat pengakuan tanpa suara. Aku bicara padamu dalam pikiran, menjawab sendiri, dan tertawa kecut dalam hening. Unrequited love bukan sekadar tema sastra bagiku—ia nyata, dan tinggal serumah dengan jiwaku. Aku telah mencoba memahat namamu di ruang-ruang keberanian, tapi tanganmu tidak pernah menyambut. Aku hanya seorang flâneur, pengembara hati yang tak diundang masuk ke pelataran rasamu.
Kamu mencintai dunia dengan begitu indah, namun tidak pernah menyadari ada satu semesta yang kutumbuhkan hanya untukmu. Aku telah menjadi penjaga sentimentalisme, menjahit serpih rindu dengan benang-benang ketabahan. Cinta ini bukan hanya tentang ingin memiliki, tapi tentang bertahan dalam ketidakterhubungan. Kamu mungkin tidak akan pernah tahu bahwa senyummu bisa membongkar pertahananku yang paling purba. Dan tetap saja, aku terus menyimpanmu dalam laci terdalam, bersama hal-hal yang tidak pernah selesai.
Jika mencintaimu adalah kesia-siaan, maka biarlah aku jadi pujangga dari ranah absurditas. Aku tidak sedang berharap balasan, hanya ingin kamu tahu bahwa pernah ada jiwa yang begitu mengabdi. Soliloquy cinta ini tidak butuh panggung atau tepuk tangan; cukup satu isyarat bahwa aku tidak sepenuhnya delusional. Tapi jika pun itu terlalu muluk, aku rela tetap berada di seberang rasa, memandangi dari kejauhan. Sebab dalam kesenjangan ini, aku menemukan diriku yang paling jujur: pecinta yang memilih bertahan dalam ketidaksetaraan rasa.
Aku kerap berdialog dengan bayangmu—perihal kemungkinan, perihal andai. Di sela kopi yang mulai dingin dan buku-buku yang terbuka separuh, ada jeda yang selalu mengingatkanku padamu. Kamu hadir bukan sebagai tokoh utama, tapi sebagai subplot yang justru menggerakkan keseluruhan cerita. Aku telah mengkhatamkan banyak kemungkinan, namun tetap kembali pada satu premis: kamu, dan keenggananmu membalas. Di mataku, penolakanmu bukan akhir, melainkan bentuk paling estetis dari existential ache.
Ada yang aneh dari ketertarikanku padamu; seperti candu dari era klasik—menggoda, memabukkan, namun melumpuhkan. Aku tidak bisa menafsirkan rasa ini dengan logika biasa. Setiap alasan yang aku temukan, kamu patahkan dengan ketidakhadiranmu. Aku mencintaimu dalam nuansa yang tidak komersil, tidak laku di pasaran drama, sebab terlalu sepi, terlalu privat, terlalu otentik. Dalam dirimu, aku menemukan paradoks: kamu begitu nyata, tapi keberadaanmu hanya bisa kuakses lewat ilusi.
Aku pernah berpikir, mungkin aku hanya sedang terlalu larut dalam imajinasi. Tapi seiring waktu, aku mengerti bahwa ini bukan delusi, ini voluntary affliction. Sebuah bentuk penderitaan yang kupelihara dengan sukarela, karena di dalamnya ada semacam kenikmatan. Aku menjadi tukang rawat luka yang tidak pernah sembuh, tapi juga tidak ingin sembuh. Kamu membuatku memahami bahwa cinta tidak harus saling. Bahwa kadang, mencintai itu cukup, meski hanya sepihak.
Aku menulis ini bukan untuk meminta. Tidak juga untuk mengutuk atau mengemis kehadiran. Aku hanya sedang berusaha menjadikan cinta ini immortal melalui kata-kata. Barangkali suatu saat nanti, saat kamu membaca entah di mana, entah oleh siapa, kamu akan tahu: ada satu orang yang mencintaimu dengan cara yang tidak biasa. Dengan sepi, dengan sabar, dengan senyap. Dan jika pun tidak, biarlah narasi ini tetap hidup di ruang hampa.
Sebab di dunia ini, tidak semua yang dalam harus dijawab. Tidak semua rasa harus dibalas. Tapi jika semesta punya belas kasih—cukup satu kali saja, tatap aku. Bukan sebagai seseorang yang kamu cintai, tapi sebagai seseorang yang pernah bersujud dalam diam untukmu. Dalam ruang sunyi bernama kesenjangan asmara, aku adalah penjaganya. Tidak berharap pulang. Hanya berharap dikenang.
Aku mencintaimu diam-diam, sampai suara hati sendiri pun tak sanggup aku dengar. Cinta ini seperti doa—rahasia, namun begitu mendalam.
Komentar
Posting Komentar