MERDEKA; KATA SIAPA?

Seseorang bergumam, Merdeka, kata mereka adalah bebas memilih jalan hidup. Tapi bagiku, merdeka ibarat seseorang yang berjalan di padang luas, melihat oase di kejauhan namun tetap terikat pada langkah yang berat. Aku di sini, kamu di sana. Jarak ini panjang, dan setiap perbincangan kita seperti setetes air di tengah dahaga.

Aku ingat betul caramu menaruh perhatian pada setiap cerita. Singkat, tapi cukup membuatku percaya bahwa kehangatan bisa lahir bahkan dari percakapan yang tak panjang. Sejak itu, entah mengapa, aku jatuh cinta.

Kamu, dengan wajah teduh seperti halaman pertama sebuah kitab yang belum selesai kubaca. Kamu hadir dalam ceritaku bukan sekadar nama. Kamu yang pernah bercita-cita menjadi perawat, lalu penegak hukum, kini memilih jalan mulia sebagai pengajar. Sembari menunggu perlahan mimpimu terwujud. Aku kagum pada caramu menyalakan semangat anak-anak dengan kesabaran. Seakan setiap kata darimu adalah pelita kecil yang sanggup menuntun banyak langkah.

Di seberang jarak, aku menyaksikanmu menjadi cahaya kecil bagi anak-anak yang bercita-cita besar. Ada kelembutan dalam senyummu, ada keberanian dalam tatapanmu. Dan aku yang tak lebih dari pengagum, hanya bisa menulis rayuan ini dengan kalimat yang tak berani kusampaikan langsung.

Lucu, bukan? Para pemimpin masih berdiri di mimbar, bersuara lantang tentang kedaulatan. Namun kebijakan mereka lebih sering menyudutkan yang kecil, memaksa tunduk pada aturan yang tidak pernah diminta. Pengajar dianggap beban, hasil kerja keras dipalak tanpa dosa. Di situlah aku kecewa: merdeka hanyalah slogan, bukan kenyataan.

Aku teringat caramu bercerita tentang masa depan. Tentang seragam putih perawat, papan tulis kelas, hingga toga hitam yang dulu kamu kenakan. Ada cahaya di matamu, cahaya yang tak pernah padam meski badai berulang kali mencoba memadamkan. Meski begitu harapan indah kadang juga menoreh luka. Aku ingin bersamamu, tapi jarak adalah hakim yang keras kepala, tak pernah memberi keringanan hukuman. Waktu pun ikut bersekongkol, memperpanjang masa tahanan perasaan kita.

Sementara aku justru merasa terikat pada rindu yang sederhana. Bagiku, merdeka adalah ketika bisa berbicara denganmu tanpa batas waktu, meski kenyataannya selalu terbatas. aku tidak menyesali singkatnya pertemuan itu. Sebab bahkan dalam sekejap, kamu telah meninggalkan jejak yang sulit dihapus. Seakan-akan kebahagiaan bisa lahir dari satu obrolan, dan kerinduan bisa tumbuh hanya dari satu tatapan.

Dan ketika dunia masih penuh dengan kebijakan yang menyudutkan, aku memilih merdeka dengan caraku sendiri—Maka biarkan aku katakan ini: kamu indah bukan hanya karena rupamu, tapi karena caramu memberi perhatian pada hal-hal kecil. Itu yang membuatmu berbeda, itu yang membuatku jatuh.

Aku tidak tahu apakah cinta ini perlu disebutkan, atau cukup disimpan. Yang jelas, kamu telah menjadi bagian dari doa-doa yang tak pernah berani aku ucapkan keras-keras. Aku percaya, setiap langkahmu adalah doa yang berjalan. Dan aku ingin selalu ada di sela-sela langkah itu, meski hanya sebagai nama yang kamu sebut lirih dalam hati.

Maka aku menulis ini dengan satu kalimat sederhana: merdeka bukanlah sekadar negara atau pemimpin, melainkan keberanian hati untuk tetap mencinta, meski jarak, waktu, dan kebijakan mencoba memenjarakan kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAWAR DI BUMI RAFFLESIA

PESAN HARI RAYA

SIKLUS TAWA