SIKLUS TAWA

Langit tertawan mendung angin merambak pada dua pasang nyawa. Bau debu jalanan mulai beraroma. Adakah kita pernah mengira sore ini akan turun hujan? kalau saja turun pertanda alam sedang bersedih hati dan tidak merelakan pertemuan kita. Begitu sebaliknya kalau tidak ada air menggenang pertanda cerita kita harus segera dilanjutkan. Aku menamainya dalam senyum dari atas awan. Tawa langit cerah terus-terusan tergambarkan.


Mengirim pesan menjadi bagian terpenting yang tak patut ditinggalkan. Aku tidak punya keberanian kuat dalam mengutarakan suatu hal. Terutama saat menjadi kali pertama. Seharusnya aku berguru pada siapa? tetap saja aku harus berani menyampaikan. Perihal namamu menjadi kalimat pertama dalam templateku. Aku mengawali dan tidak pernah punya keinginan mengakhiri, bagaimana denganmu? Jujur akhir-akhir ini dirimu mulai mendekam di pikiran. Namamu aku pinjam di kepalaku, apa kamu izinkan?

Bertemu rangkaian kedua dari putaran waktu yang pernah terlalui. Dari mana asal masing-masing diri? cerita apa yang kita miliki, semua tampak tenang dan terus berselang sembari menghirup udara bercampur karbon dioksida dari berbagai macam knalpot kendaraan. Ada waktu dimana seseorang tetap bercerita meski situasi mengganjal, aku menduga ada kenyamanan tengah terjadi. Saat rasa sadar tengah terasuk keharmonisan, tak kunjung terjalin mesra. Haruskah dipercepat atau jalan pelan-pelan saja? 

Jalan bersama memang menyenangkan, apalagi ditambah perasaan yang saling ditautkan. Sungguh indah bukan? Sebagai lelaki terkadang aku juga merasa kebingungan tentang bahasan apa yang disukai gadis sepertimu. Apakah aku harus membahas lentik indah matamu? Apa harus membahas garis bibir kura-kura? Atau aku cukup diam saja menatapimu sepanjang waktu sembari membatin, apakah lelaki sepertiku pantas memilikimu? Dan apakah kita menonton badut pinggir jalan agar tawamu terus-terusan terdengar.

Pesan minuman, terdengar klasik tapi aku tidak akan melewatkan. Kalau boleh cerita dahulu kakek buyutku sepulang melihat tontonan wayang, beliau dan nenek buyutku mampir membeli es gosrok, mungkin kalau disamakan dengan masa kini tidak akan seromantis zaman dahulu. Tapi aku percaya dari es gosrok, karena setiap kejadian yang dilakukan orang terdahulu terdapat filosofi tersendiri. Apakah kita boleh meniru mereka?

Pulang, sebentar saja tapi pradugaku membisik ingin sekali berlama-lama. Apa harus mencari waktu lain untuk mengulang sebelum pulang. Aku paling tidak suka dengan kalimat perpisahan. Aku tidak pernah untuk mengakhiri. Sempat terucap kata terakhir yang kudengar adalah untuk sering-sering saling jumpa. Siapkah untuk itu? Sepertinya kita harus kembali ketempat masing-masing, hujan tak kunjung menyertai apakah pertanda alam merestui? semoga saja, aku sering mengingatmu. Apakah aku rindu?

Terkadang saat kita merasa senang dengan orang yang kita jumpa, tanpa sadar kecocokan tengah terjadi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAWAR DI BUMI RAFFLESIA

TENGAH JATUH

CANTIK SEUTUHNYA