STRAWBERRY SUNDAE
Segalanya bermula sesederhana strawberry sundae yang tak sengaja kita pesan bersamaan di kedai kecil itu. Dua kursi terpisah, satu meja panjang yang menghubungkan kita tanpa niat. Dua bola mata bertemu dalam jeda tak terencana, seolah semesta terlalu iseng mempertemukan dua orang yang sama-sama tidak sedang mencari siapa-siapa. Saat itu aku merasa, barangkali memang ada benang tak kasat yang mengikat kita dalam situasi yang sebentar ini.
Kecantikanmu bukan perkara bentuk, bukan pula tentang cara rambutmu jatuh atau caramu tersenyum. Kecantikanmu adalah caramu menunduk saat malu, caramu menahan tawa saat obrolan mulai tak jelas ujungnya. Kecantikanmu adalah kehadiranmu yang tak berniat mencuri perhatian, tapi tetap menguasai ruang dengan sederhana. Sejak itu aku tahu, ada sesuatu yang lahir di dadaku: bukan gejolak, tapi semacam pengakuan sunyi bahwa aku ingin mengenalmu lebih jauh.
Kita berbincang, seolah waktu memutuskan memberi bonus detik-detik tambahan yang tak pernah kita minta. Cerita kita pendek, tapi cukup untuk membuatku menyadari: pengharapan itu muncul bukan dari berapa lama mengenal, tapi dari seberapa dalam hati menangkap isyarat. Kamu memberi isyarat itu, dan aku, bodohnya, menangkapnya sebagai peluang, bukan sekadar kebetulan.
Namun tak butuh lama untuk dunia mengingatkanku: harapan yang satu arah tak pernah cukup kuat menahan arus kenyataan. Kamu terlalu tergesa menjemput keputusan. Baru saja aku belajar mengeja namamu di kepala, kamu sudah memutuskan menyebut nama lain dalam hatimu. Bukan salahmu, aku tahu. Siapa yang tak ingin kepastian? Siapa yang tak ingin rasa aman datang cepat, sebelum waktu sempat menguji?
Kamu memilih dia, lelaki yang mungkin memang lebih mampu menjanjikan banyak hal yang belum tentu aku bisa. Aku hanya mampu menawarkan sabar, dan ternyata itu bukan mata uang yang berlaku di dunia kita hari itu. Dia menawarkan lebih, dan kamu menilai itu cukup untuk disebut hubungan. Padahal aku tahu, kita baru di fase saling sapa, belum sampai saling jaga. Tapi tak apa, mungkin kamu memang butuh itu untuk tenang.
Aku hanya berharap satu: semoga hubunganmu dengannya lekas awet, tak cepat goyah. Semoga kamu dan dia saling menjaga komunikasi, karena aku pernah percaya—dan masih percaya—bahwa komunikasi adalah tiang paling kokoh dalam rumah yang bernama cinta. Semoga dia tak sekadar menikmati manisnya, lalu pergi meninggalkan sisa getir yang tak layak kamu tanggung sendiri.
Dan semoga kamu tak terlalu membebani hidupmu hanya untuk lelaki yang mungkin hanya tertarik pada riuh di permukaanmu, tapi tak pernah benar-benar menaruh apapun dalam ruang hatinya untukmu. Aku bilang ini bukan karena aku iri, tapi karena aku peduli dengan caramu tersenyum—dan aku tak ingin senyuman itu patah oleh alasan yang salah. Biarlah aku tetap di sini, cukup memandang dari kejauhan.
Dan jika dunia memberi satu kesempatan lagi, aku hanya ingin berada di meja yang sama, bukan hanya saling pesan sundae yang sama, tapi juga saling pesan hati untuk saling dijaga, tanpa perlu buru-buru takut kehilangan.
Komentar
Posting Komentar