KOTA TEMBAKAU: SELEPAS HUJAN REDA

Selepas hujan reda, langit kota masih menggantungkan sisa mendung yang belum sempat sepenuhnya luruh. Jalanan licin, aspal menghitam, dan udara membawa wangi tanah basah bercampur samar aroma tembakau yang sudah lama menjadi nyawa kota ini. Aku melaju pelan di antara sisa genangan, dengan hati yang, entah bagaimana, lebih riuh dari suara hujan yang baru saja berhenti. Hari itu, ada denyut yang tak biasa, semacam rasa syukur yang muncul hanya karena aku sedang menuju seseorang yang membuat hari ini lebih berarti dari biasanya, dan jalan menuju temu menjadi perjalanan yang ingin kuabadikan sepanjang usia.

Aku terlambat, bukan karena sengaja, tapi karena lampu merah itu seolah berkonspirasi dengan waktu, menahanku di tiap detiknya yang terasa lambat sebelum akhirnya berubah hijau. Setiap angka di hitungan mundur terasa seperti ujian kesabaran yang tak kunjung selesai. Di antara helaan napas yang berat dan degup yang tak karuan, aku hanya bisa berharap kamu mau menunggu, seperti aku yang dengan segala rindu ingin segera sampai. Dan di sepanjang jeda itu, aku belajar bahwa menujumu adalah perjalanan paling tulus yang pernah ingin kulalui.

Kali pertama aku menoleh ke arahmu, dunia rasanya memberi jeda. Kamu sudah di sana, duduk tenang, dengan paras yang membuatku tak lagi peduli pada sisa rintik di jaketku. Jujur, ingin sekali aku berteriak pada semua yang ada di caffee shop itu—ingin aku umumkan bahwa di depanku ada perempuan cantik yang membuat segalanya terasa lebih hidup. Tapi aku memilih diam, menjaga sikap, karena ini pertemuan pertama kita yang berjalan sederhana tanpa riuh. Aku ingin menjadi lelaki yang pantas kamu temui di sore itu.

Aku selalu percaya bahwa usaha kecil yang dilakukan untuk seseorang adalah bentuk bahasa cinta yang tak perlu diterjemahkan. Dan hari itu, sungguh aku merasa dihargai. Kamu dandan untukku. Kamu memilih apa yang kamu pakai, menata kerudung senada sama dengan baju, memberi warna pada wajahmu, bukan karena dunia, tapi karena kamu mau membuat pertemuan ini berarti. Bagiku, itu usaha yang tak sederhana. Itu adalah cara diam-diammu bilang: “Aku peduli.” Dan aku menangkap sinyal itu dengan hati yang penuh syukur.

Sore itu, bukan hanya kamu yang membuatku merasa beruntung. Seorang tukang parkir tua, dengan lengannya sendiri, mengelap jok motorku agar aku tak duduk dalam basah sehabis hujan. Lengan bajunya sudah basah, tapi ia tak peduli. Di kota ini, selepas hujan reda, aku merasa ditempa oleh dua bentuk penghargaan yang tulus: darimu dan dari dia. Dia tidak menunggu imbalan, sama seperti kamu tak menunggu pujian atas penampilanmu. Dan sore itu aku merasa: betapa sederhana bentuk penghargaan, betapa besar artinya ketika datang dari hati yang ikhlas.

Di sela percakapan kita, kopi yang mulai dingin tetap kupandangi, seolah aku ingin merekam setiap detail: caramu merapikan ujung kerudung yang selalu goyah, caramu menahan senyum saat aku berusaha tidak kikuk. Dan aku membayangkan, andai nanti kita punya masing-masing kesibukan, semoga kita tetap mau mengusahakan untuk saling bertemu seperti ini. Karena cinta, aku kira, memang sesederhana duduk saling pandang selepas hujan reda, dengan kopi sebagai saksinya.

Waktu berjalan lebih cepat dari yang kuharapkan. Rasanya baru saja aku meneguk tegukan pertama, baru saja aku menatap matamu yang hangat, tapi sore sudah mulai runtuh perlahan. Ada rindu yang lahir bahkan sebelum pertemuan ini selesai. Rindu yang tidak perlu alasan, rindu yang hanya tahu bahwa ingin bertemu lagi. Dan aku membiarkan perasaan itu tinggal, tanpa kututupi, tanpa kubantah. Barangkali memang begini cara hati bekerja.

Di jalan pulang, aku terdiam di atas motor, membiarkan angin membawa wangi sisa hujan. Aku tidak lagi peduli seberapa basah sepatuku atau seberapa dingin udara sore itu. Yang ada hanya bayangmu, duduk di meja tadi, dengan secangkir kopi dan sorot mata yang akan lama tinggal dalam ingatanku. Aku tak tahu bagaimana kelanjutan kisah ini. Tapi aku tahu, hari itu aku berutang banyak pada semesta, karena telah memberiku pertemuan yang begitu indah.

Dan jika kelak kita terjebak waktu yang tak ramah, aku hanya ingin kamu tahu: sekali duduk bersamamu sore itu cukup untuk membuatku ingin terus pulang pada perasaan ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAWAR DI BUMI RAFFLESIA

TENGAH JATUH

CANTIK SEUTUHNYA