JATUH, TENGAH BERAKHIR

Aku pernah percaya bahwa semesta bisa menata ulang jalannya hanya untuk dua orang yang saling mengingat tapi belum pernah benar-benar saling mengenal. Bahwa mungkin aku dan kamu bukan pertemuan pertama, melainkan pengulangan dari sesuatu yang pernah selesai di kehidupan sebelum ini. Rasanya seperti mengenalmu lebih dulu sebelum aku sempat menyapamu. Wajahmu tidak asing, bahkan caramu tertawa pun terasa seperti gema dari masa yang tak tercatat dalam sejarah.

Setiap pertemuan kecil, setiap perjumpaan singkat—semuanya membekas tanpa perlu dimaknai terlalu dalam. Aku jatuh hati bukan karena kamu sempurna, tapi karena kamu terasa seperti rumah yang pernah kutinggali dalam mimpi-mimpi yang paling sunyi. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan—perasaan itu tumbuh seperti akar kecil di dalam dada, tanpa pernah aku berani mencabut atau merawatnya terlalu terang-terangan.

Aku kira waktu hanya butuh keberanian sedikit lagi agar semuanya bisa mengarah ke saling. Aku kira, kamu juga merasakannya, entah dari tatapan matamu yang tak pernah benar-benar lepas, atau dari caramu duduk diam di dekatku tapi tak pernah benar-benar menjauh. Ada saatnya aku percaya, mungkin aku bukan satu-satunya yang merasakan getar aneh itu.

Namun ternyata, kamu bicara lain di belakang. Kepada mereka, kamu menyebut kehadiranku mengganggu. Katamu aku terlalu sering ada di dekatmu, terlalu banyak muncul seolah ingin mengisi ruang yang tidak kamu buka. Kamu tidak tahu, aku bukan ingin mengejar, aku hanya sedang mencoba tidak menyangkal. Tapi ketika kamu mulai menghindar dengan sengaja, aku mengerti bahwa hatimu tidak pernah menungguku.

Yang paling sulit bukan jarak, tapi menyadari bahwa kamu tidak pernah menginginkan aku untuk datang lebih dekat. Bahwa kamu lebih sibuk menanggapi siapa saja yang menunjukkan niat, daripada menyadari siapa yang memilih diam agar tidak merusak segalanya. Rasanya seperti ditertawakan oleh kenyataan—bahwa aku menjaga dengan sungguh-sungguh, saat kamu membuka pintu untuk setiap ketukan yang datang tanpa ketulusan.

Sejak saat itu, aku memilih mundur tanpa suara. Aku berhenti membayangkan skenario apa pun. Aku berhenti menyusun ulang kemungkinan. Karena aku sadar, jatuh hati memang tidak selalu berakhir dengan tangan yang saling menggenggam. Kadang, ia hanya hadir untuk membuat kita mengerti bahwa tidak semua rasa pantas diperjuangkan.

Perasaan itu tidak mati, hanya aku berhenti memberinya makan. Tidak ada dendam, hanya kekecewaan yang tidak ingin dibesarkan. Aku tidak marah karena kamu tidak memilihku, aku hanya kecewa karena kamu memilih menjauh sambil menceritakan aku dengan versi yang menyudutkan. Padahal aku hanya seseorang yang mencoba mencintai dengan cara paling sopan.

Kini aku mengerti: yang pernah begitu dalam, bisa selesai begitu tenang. Bahwa perasaan itu pernah ada, pernah kuat, tapi juga pantas untuk tidak diteruskan. Karena cinta tidak akan pernah benar-benar tumbuh di tanah yang ditolak. Dan kamu, bukan tanah yang salah—hanya memang bukan untuk aku tanami.

Jatuh hati ini sempat penuh, tapi di tengah jalan kamu sibuk menyambut yang lain, dan aku sadar: akhir bisa datang bahkan saat belum selesai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAWAR DI BUMI RAFFLESIA

PESAN HARI RAYA

SIKLUS TAWA