SAID I LOVE YOU FOR 49 DAYS
Aku tak tahu persis kapan segalanya dimulai. Hanya ingat kali pertama menatapmu, dunia seolah memberi jeda sepersekian detik lebih lama dari biasanya. Ada rasa yang tak asing, seolah aku mengenalmu jauh sebelum kita dilahirkan, sebelum langkah kita saling bersilang di ruang ini. Bukan sekadar rasa suka yang muncul tiba-tiba, tapi semacam pengakuan sunyi dari jiwa yang akhirnya menemukan satu fragmen hilang yang lama ia cari. Saat itu aku tahu, ada cerita yang menungguku di balik caramu tersenyum pelan.
Kita banyak bicara, meski kadang tak ada arah pasti. Kita saling ejek, saling goda tanpa skrip, tanpa alasan yang jelas. Tidak ada tujuan, tapi aku menemukan rumah di percakapan ringan kita itu. Setiap kalimatmu mengendap di pikiranku lebih lama dari yang seharusnya. Aku tertawa bersamamu, dan di balik tawa itu aku tahu: kamu adalah jeda yang membuat hari-hariku tak terlalu berat untuk dilalui. Semua ejekan kita, ternyata adalah caraku belajar merindukanmu tanpa harus berkata.
Lama-lama aku melihatmu dengan sudut yang lebih dalam. Kamu tak pernah berusaha tampak sempurna, dan mungkin karena itu kamu justru jadi sosok yang sulit kulupakan. Garis tawa di wajahmu, yang selalu muncul tulus tanpa dibuat-buat, menjadi sesuatu yang diam-diam kurindukan setiap hari. Kamu berbeda. Kamu seperti cahaya redup yang tak silau, tapi selalu bisa kutemukan, bahkan ketika dunia sedang gelap-gelapnya. Dan aku, selalu ingin dekat pada cahaya itu.
Kamu perempuan pertama, selain ibuku, yang pernah menyetrika bajuku. Sebuah hal kecil, tapi entah mengapa itu menetap begitu lama dalam ingatanku. Sejak hari itu, aku tak pernah mencuci baju itu lagi. Bukan karena aku malas, tapi karena aku ingin aroma dan hangat tanganmu tetap tinggal di sana, bahkan ketika waktu terus bergerak. Baju itu seperti saksi bisu: bahwa pernah ada kamu yang peduli, meski hanya sebentar, meski hanya sederhana.
Aku sudah mencoba berkali-kali menahan, pura-pura tak peduli, berpura-pura tidak jatuh hati. Tapi nyatanya aku selalu kalah. Setiap melihatmu, setiap mendengar namamu terucap, aku jatuh hati lagi dan lagi, tanpa bisa kucegah. Seolah aku terikat pada rasa ini dengan kontrak yang tak pernah kutandatangani, tapi selalu kupatuhi. Dan selama hari yang kita sebut sebagai proyek, karena setelahnya kita tidak pernah saling jumpa, dalam diam atau doa, aku hanya mampu berkata: aku mencintaimu.
Dan kini, setelah semua hari itu berlalu, aku hanya menyisakan rasa yang tetap tinggal tanpa pamrih. Tak ada lagi yang perlu kuperjuangkan, tak ada lagi yang harus kutuntut. Kamu adalah cerita yang tak pernah selesai kutulis, karena aku memang tak ingin menulis akhirnya. Meski waktu telah menutup banyak pintu, biarlah satu ruang kecil di dalam hatiku tetap menyalakan namamu dalam senyap. Karena sesungguhnya, aku mencintaimu bukan untuk kamu balas—aku mencintaimu hanya agar aku tak lupa bagaimana rasanya tulus.
Dan andai rasa ini harus jadi kata terakhir, biarlah ia menetap sebagai saksi diam yang tak pernah menagih, hanya berharap kamu baik-baik saja di semesta mana pun langkahmu berpijak.
Komentar
Posting Komentar