GARIS USANG
Aku terbangun (02.59) jauh dari kantuk terselimut di ujung mimpi. Pada hujan yang terus-terusan turun entah kapan reda. Tidak ada musim panas yang aku temukan. Padahal jiwaku sungguh gerah gelisah terhimpit rindu. Aku menandainya dengan beberapa garis, aku ukur apakah rinduku masih masuk di akal atau hanya sebatas singgah sebentar.
Sialan aku tidak bisa kembali memejamkan mata, apakah aku harus mengulang doa yang selama ini aku layangkan? Agar timbul ketenangan. Setelahnya aku mencoba keluar sebentar, melihat jalanan sangat sepi. Terasa hening namun banyak orang seumuran sedang diserang harapan besar yang selalu berisik di kepala. Membayangkan betapa banyaknya mereka yang ingin berjuang dan membuat dirinya berharga. Ada hal besar yang harus meraka pikul, mereka pikirkan dan memulai.
Sangat naif jika isi kepalaku hanya terpenuhi oleh gadis sepertimu, aku juga ingin memikirkan banyak hal yang sama dengan orang lain impikan. Aku juga ingin menjadi orang dengan aktivitas normal, diberi beberapa perhatian dan dipikirkan. Apa aku salah berharap pada kata ingin? Sebetulnya aku hanya ingin menghapus semua rasa sedih yang hadir di kepala meraka, dan mengubah menjadi bahagia seutuhnya. Aku selalu berharap agar tidak ada orang yang menangis di dunia ini. Fase hidup selalu saja memaksa untuk mengeluarkan air mata.
Saat kita sedang sendiri, cerita paling puas adalah mengirim semua tangisan kepada sang pencipta. Obat dari segala penenang yang ada. Tempat abadi untuk selalu didatangi. Padahal aku selalu ingin terlihat kuat, nyatanya di hadapannya aku sangat lemah. Aku lemah dengan perasaanku sendiri. Perihal cinta, perihal bagaimana aku harus menyampaikannya.
Kalau boleh jujur, aku tidak pernah mematok bagaimana saat sudah dewasa ataupun saat masih kecil sekalipun. Aku selalu mendamba pada hubungan yang benar serius adanya. Hubungan dua pasang nyawa dengan raut wajah tulus dan terselip guyonan di dalamnya. Bukan dengan orang yang hanya sekedar mencoba-coba. Saling menguatkan dan memberikan apresiasi satu sama lain. Tidak ada paksaan di dalamnya. Setidaknya hanya terfokus pada "kita" kamu dan aku.
Aku sudah melunakkan hatiku sendiri untuk selalu memahami orang yang aku temui, dan mereka malah seenaknya saja. Bolehkah aku juga merasakan rasa yang sama? Walaupun hanya sesekali. Terlihat sederhana dan sulit diwujudkan. Apakah aku harus menunggu dihampiri oleh momentum atau haruskah aku selalu mengawali? Rasanya tidak adil jika tidak tumbuh dari dua sisi.
Tentangmu, aku juga pernah menunggu saat yang tepat agar tidak terlihat buru-buru. Aku ingin menghabiskan waktuku dengan seseorang yang aku suka. Mulanya aku hanya tidak ingin tampak kalau diriku terpikat olehmu. Lirikan dua bola mata di tangga, jelas aku masih mengingatnya. Bagaimana saat kamu berbincang dengan temanmu. Semuanya tampak nyata. Hingga semua yang berlama-lama seketika ada saja yang menyautnya.
Ikhlas menjadi kata yang sulit untuk aku lakukan. Masih saja aku percaya bahwa tuhan menuliskan takdir kita tepat bersebelahan. Perlu kamu ketahui, aku tidak pernah baik-baik saja tanpa kehadiranmu. Aku juga selalu menghitung antara iya dan tidak. Kalau memang terjadi aku sangat bersyukur dan ingin menjagamu dengan sepenuh hati. Kalaupun sebaliknya, setidaknya aku pernah membuat dirimu tertawa.
Dari semua masa yang ada, fase terindah adalah saat kita mengenal seseorang yang hatinya serupa dengan kita
Komentar
Posting Komentar