DESIR PASIR DIPESISIR
Sepasang samudra melambai meringkuk kesakitan, semesta menyiksa dan lautan pongah menyaksikan. Desir pasir menyisiri pesisir. Dua tangan mungil menyapa ombak tepat di depanmu. Ombak berderai membasahi dua kaki putih. Untaian kisah tetap menjadi angan dan tak kunjung terjalin kasih. Empat bola mata saling bertatap muka. Raut wajah menjadi simbol arah tuju perasaan ini terjelma.
Jujur saja aku ingin bercerita, meski tidak banyak terpenting kamu memahami yang aku maksudkan. Satu hal perlu kamu ketahui, aku terus berandai kita jalan berdua di tepian pantai. Saling bercerita, berlari, mengukir nama dan melukis istana sederhana yang mungkin akan kita tempati. Sederhana saja tidak perlu megah, aku tidak ingin berteriak jika memanggil namamu. Cukup aku sebut sekali kamu langsung menghampiri. Tapi, aku juga lupa ternyata kata saling sudah menjadi asing. Kata-kata yang dahulu mesra sekarang tidak bermakna, sedikitpun.
Pantai menjadi tempat lamunan paling pantas dan tabah untuk menerima segala keluhku. Saat suasana hatiku sedang sebal, maupun geram sekalipun. Padahal, di tempat seperti itu seharusnya menjadi saksi banyak orang bersenang-senang, berceria dan bergembira. Meski begitu, aku juga pernah merasakan hal sama seperti yang dirasa orang lain pada umumnya. Ada satu pertanyaan muncul dalam benak. Adakah tempat pantas untuk disambangi selain melihat kersik di tepian?
Ternyata, tidak ada yang lebih indah selain melihatmu di pinggiran pantai. Entah berdiri ataupun duduk sendiri. Kamu berjalan dengan gaun hitam favoritmu, aku pandang dari kejauhan. Satu-satunya alasan kenapa aku sering mengunjungi tempat itu adalah selain berkeluh kesah, aku nyaman melihat senyuman indah. Sekali lagi biar ku perjelas, aku menyukai tepi, menyukai derai, menyukai desir dan aku menyukai sesosok anggun sepertimu.
Meski tulisanku di pasir sering terlihat kabur, semoga rasaku tidak cepat luntur
Komentar
Posting Komentar